
Sengketa Waris: Ketika Hukum Islam tak Dikenal dalam Keluarga
Kolom | 2025-06-04 00:02:42
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat religius dan kental dengan tradisi kekeluargaan, warisan seharusnya menjadi ladang pahala terakhir seorang pewaris. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tak sedikit keluarga tercerai-berai karena harta. Sejumlah saudara yang dulunya akrab tak lagi saling menyapa. Akar dari semua itu seringkali satu: ketidaktahuan dan ketidakpatuhan terhadap hukum waris yang semestinya berlaku—baik hukum Islam maupun hukum nasional.
Indonesia adalah negara hukum yang mengakui sistem hukum ganda dalam urusan warisan. Bagi umat Islam, penyelesaian sengketa waris menjadi ranah eksklusif Pengadilan Agama berdasarkan prinsip hukum Islam, terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Namun dalam praktiknya, banyak perkara waris tetap diselesaikan melalui jalur adat, notaris, bahkan pengadilan umum. Tak jarang, ketidaksesuaian forum dan hukum yang digunakan justru memperparah sengketa, memicu ketidakadilan, dan mereduksi nilai-nilai spiritual dalam warisan.
Hukum Islam: Warisan sebagai Hak Ilahiah
Dalam Islam, hukum waris tidak lahir dari kehendak manusia, melainkan diturunkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 secara rinci menyebutkan bagian-bagian setiap ahli waris. Maka, menurut perspektif fikih, pembagian waris bukan soal mufakat, melainkan soal ketaatan.
Ulama besar seperti Imam Syafi’i maupun Imam Malik sependapat bahwa pembagian warisan tidak bisa dinegosiasikan. Bagian anak perempuan, meski hanya setengah dari anak laki-laki, tetaplah bagian yang pasti. Begitu pula bagian istri, suami, ibu, ayah, bahkan saudara kandung jika tak ada ahli waris langsung.
Sayangnya, banyak keluarga Muslim di Indonesia mengabaikan ketentuan ini. Dalam sejumlah kasus, anak perempuan tidak mendapat bagian dengan alasan sudah menikah. Dalam kasus lain, harta diwariskan seluruhnya kepada anak laki-laki tertua karena dianggap paling berjasa menjaga orang tua. Praktik-praktik ini jelas melanggar syariat Islam dan merugikan perempuan, sekaligus menunjukkan rendahnya literasi hukum waris Islam di tingkat masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 untuk memudahkan hakim dan masyarakat dalam mengakses hukum Islam. KHI mengatur secara normatif pembagian waris sesuai fikih Sunni, terutama mazhab Syafi’i. Karena bukan produk legislasi formal, KHI sering dipandang kurang kuat secara yuridis dibanding undang-undang.
Dalam praktiknya, banyak hakim Pengadilan Agama tetap merujuk langsung kepada kitab-kitab fikih klasik atau fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat menemukan kekosongan atau ketidaktepatan dalam KHI. Di sisi lain, masyarakat sendiri justru lebih familiar dengan akta notaris atau pembagian secara adat, bukan putusan pengadilan.
Kesenjangan ini menimbulkan problem serius dalam penegakan hukum waris Islam. Ketika seseorang meninggal dunia, warisan sering langsung dibagi tanpa musyawarah formal, tanpa bukti tertulis, dan tanpa pemahaman syariat. Akibatnya, ketika salah satu ahli waris menuntut haknya secara hukum, yang muncul adalah konflik, bukan penyelesaian.
Sengketa, Manipulasi Hukum dan Harmonisasi Sistem Hukum
Sengketa waris dalam banyak kasus bukan sekadar soal bagian, tapi juga soal penguasaan. Ada anak yang tinggal di rumah orang tua hingga meninggal dan menganggap rumah itu miliknya. Ada pula saudara yang secara diam-diam mengurus balik nama sertifikat ke atas namanya sendiri. Bahkan, ada yang menjual harta warisan sebelum pewaris wafat dengan dalih sudah “diizinkan” secara lisan.
Praktik semacam ini menempatkan harta warisan dalam ruang gelap—antara hak, kezaliman, dan ketidaktahuan. Menurut hukum Islam, memakan harta warisan secara tidak sah tergolong dosa besar. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengambil harta orang lain dengan sumpah palsu, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan murka.”
Namun dalam tataran negara, penyelesaian semacam ini membutuhkan bukti hukum. Banyak penggugat kesulitan membuktikan status harta warisan karena tak ada akta, tak ada pernyataan, atau tak ada kejelasan tentang harta peninggalan. Akibatnya, perkara yang seharusnya bisa selesai secara kekeluargaan menjadi sengketa panjang di pengadilan.
Di sinilah pentingnya harmonisasi antara hukum Islam dan sistem hukum nasional. Pasal 49 UU Peradilan Agama menyebut secara tegas bahwa sengketa waris umat Islam menjadi kewenangan pengadilan agama. Namun realitas sosial menunjukkan bahwa banyak perkara tetap dibawa ke pengadilan negeri, apalagi jika salah satu ahli waris non-Muslim atau ada klaim kepemilikan dari pihak ketiga.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 pernah menegaskan bahwa ahli waris non-Muslim tidak berhak atas harta peninggalan pewaris Muslim, merujuk pada kaidah "la yarithu al-musyrik al-muslima." Namun dalam perkembangan yurisprudensi, MA membuka jalan kompromi melalui mekanisme hibah wasiat sebagai jembatan antara hukum Islam dan perlindungan hak sipil bagi non-Muslim.
Pendekatan ini patut diapresiasi karena memperlihatkan fleksibilitas hukum Islam yang tetap berpegang pada prinsip keadilan dan maslahat. Di sisi lain, negara wajib memberi kepastian forum, prosedur, dan perlindungan hukum agar masyarakat tidak terombang-ambing dalam sengketa yang berkepanjangan.
Penyelesaian sengketa waris seharusnya mengedepankan prinsip musyawarah, bukan litigasi. Dalam Islam, wasiat, hibah, dan pembagian semasa hidup sangat dianjurkan untuk mencegah konflik. Jika harus berujung di pengadilan, maka hakim wajib menjadikan hukum Islam sebagai asas keadilan, bukan sekadar formalitas pembagian.
Sudah saatnya negara, lembaga agama, dan pendidikan memperkuat literasi hukum waris Islam di masyarakat. Penyuluhan hukum oleh kantor urusan agama, sosialisasi lewat masjid, hingga pendidikan keluarga Islam di madrasah perlu memberi porsi lebih besar pada tema waris. Kesadaran dini akan hak dan batas warisan bisa menjadi modal mencegah konflik yang lebih besar di kemudian hari.
Jika dalam keluarga tak ada yang tahu hukum waris Islam, maka keadilan tak akan pernah sampai kepada para ahli waris. Dalam situasi semacam itu, tak cukup hanya menyalahkan pihak yang tamak. Yang perlu ditanya adalah: mengapa dalam keluarga Muslim, hukum Allah justru tak dikenali?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.